Home » , » Peran Penting Pendidikan Sejarah - Kasus etnis muslim Rohingya Myanmar

Peran Penting Pendidikan Sejarah - Kasus etnis muslim Rohingya Myanmar


Peran Penting Pendidikan Sejarah
(Kasus etnis muslim Rohingya Myanmar)

    Beberapa hari ini kita menyaksikan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik berita mengenai peristiwa yang terjadi di Rakhine (dulu bernama Arakan) yang terjadi di negara Myanmar (Burma) yaitu kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya. Berbagai aksi solidaritas dan kecaman disampaikan oleh berbagai negara, menuntut pemerintah Myanmar segera menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim yang notabene sama dengan keyakinan orang rohingya, turut serta aktif menghentikan permasaslahan yang terjadi di Rakhine Myanmar.  

         Permasalahan kekerasan terhadap Muslim Rohingya sudah terjadi sejak lama, tidak diakuinya etnis ini oleh pemerintahan junta militer Myanmar menjadi sebab utama alasan mengapa kekerasan demi kekerasan terjadi secara terus menerus. Pemerintah Myanmar bersikeras bahwa Rohingya bukan termasuk warga Negara Myanmar, mereka hanya sebagai pendatang ilegal pada tahun 1948 yang tidak layak termasuk bagian dari salah satu etnis yang diakui pemerintah, puncaknya yaitu setelah amandemen undang-undang kewarganegaraan tahun 1982. Melalui undang-undang ini, pemerintah Junta militer Myanmar mengabaikan hak kewarganegaraan etnis Rohingya dengan tidak mengakui etnis Rohingya sebagai penduduk negaranya, akibatnya etnis Rohingya tak bisa menikmati pendidikan, layanan kesehatan,  pekerjaan yang layak dan akses-akses kemasyarakatan lainnya. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan. Apalagi secara kebetulan mereka berbeda ciri-ciri fisik, agama dan kebudayaan. Fakta inilah yang kemudian seakan-akan semakin mendukung  bahwa muslim Rohingya berbeda dengan masyarakat lainnya, mereka bukan bagian dari warga Myanmar.

       Cara junta militer Myanmar menyingkirkan etnis Rohingya sangat sistematis dan terstruktur. Telah terjadi manipulasi sejarah etnis Rohingya selama beberapa dekade silam secara terus-menerus oleh para sejarawan Myanmar. Sebut saja nama Khin Maung Saw, Maung Maung atau Aye Chan. Ketiganya merupakan sejarawan Myanmar yang menuliskan karya-karyanya yang kemudian diikuti dan dirujuk oleh mayoritas masyarakat Myanmar, termasuk oleh junta militer. Mereka menganggap bahwa Rohingya merupakan etnis yang masuk ke wilayah Myanmar secara ilega. Lebih mengerikannya lagi, manipulasi sejarah ini diajarkan dalam kurikulum pendidikan di Myanmar. Hal ini yang kemudian semakin menyebabkan tidak diakuinya etnis Rohingya serta mengakarnya kebencian mayoritas masyarakat Myanmar sehingga kekerasan dan intimidasi terus-menerus terjadi. Muslim Rohingya menghadapi genosida di negerinya sendiri. Aung San Suu Kyi (tokoh demokrasi yang berpengaruh di Myanmar, peraih Nobel perdamaian) termasuk sosok yang terpengaruh paham produk sejarah yang menyesatkan ini, sehingga wajar jika pada akhirnya dia tidak memperjuangkan hak-hak hidup “saudara” senegaranya ini (etnis Rohingya). Matahatinya seolah tertutup oleh manipulasi sejarah, sehingga sangat wajar bila dia menjadi sasaran kritik masyarakat dunia terkait permasalahan ini.

       Beberapa waktu yang lalu kita mendengar pernyataan yang sangat mengagetkan dari presiden Myanmar Thein Sein, ia mengatakan, sebaiknya Muslim Rohingya dikirim ke kamp pengungsi yang dikelola oleh PBB. Bahkan yang lebih mengagetkan lagi, mantan Jenderal Junta militer Myanmar tersebut mengatakan bahwa satu-satunya solusi untuk mengatasi konflik Muslim dan Buddha di Myanmar adalah dengan mengirim Muslim Rohingya ke luar Myanmar dan akan mengusir muslim Rohingya jika ada negara ketiga yang mau menerima mereka. Melihat pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah junta militer Myanmar sangat bersikeras melakukan proses pengaburan fakta sejarah sehingga terjadi pembantaian demi pembantaian terhadap kelompok etnis Rohingya, tujuannya sudah sangat jelas, menghapus etnis Rohingya dari Myanmar!


       Sebenarnya manipulasi sejarah ini telah dipatahkan dengan baik oleh ahli sejarah sekaligus periset sosial Habib Siddiqui, Francis Buchanan-Hamilton, Jacques Leider dan M. Ali Chowdhury. Menurut fakta yang mereka temukan, bahwa etnis Rohingya itu sudah ada di wilayah Arakan, jauh sebelum terbentuknya pemerintahan junta militer Myanmar. Bahkan menurut ilmuan lainnya, Ashraf Alam secara tegas menyebutkan dalam sejumlah karyanya bahwa etnis muslim Rohingya merupakan penopang utama kemaharajaan “Mrauk-U” di Arakan sebelum Inggris masuk ke Burma. Fakta ini sebenarnya mampu mematahkan klaim pemerintah junta militer Myanmar yang menyatakan bahwa etnis Rohingya memasuki Myanmar secara ilegal pada tahun 1948. Akan tetapi yang menjadi permasalahan yaitu sejarah selalu berhubungan dengan kepentingan penulisannya. Seperti yang terjadi di Myanmar ini, sejarah dijadikan sebagai alat propaganda penguasa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, bahkan dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Hal inilah yang kemudian menjadi alat efektif pemerintah mencapai tujuannya melenyapkan etnis rohingya dari Myanmar.

       Sejarah merupakan alat untuk merekam masa lalu. Objektifitas dalam sejarah sangat penting. Jika dilihat dari apa yang terjadi di Myanmar ini, sejarah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap  pandangan mayoritas masyarakat yang membenci etnis muslim Rohingya saat ini. Apalagi setelah dimasukan kepada kurikulum pendidikan. Siswa akan sangat terpengaruh dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, akan begitu sangat membekas. Sejarah “mampu menunjukan” siapa pahlawan siapa pemberontak, siapa penjahat dan siapa penyelamat, tergantung dengan “pesanan”. Kitapun pernah mengalami fenomena kondisi seperti ini, ketika sejarah dijadikan alat oleh kekuasaan Orde Baru. Bagaimana begitu melekatnya dalam pikiran kita ketika mendengar PKI yang terbayang adalah kekejamannya, membunuh dengan sangat tidak manusiawi misalnya dengan memotong kemaluan dengan silet, atau doktrin-doktrin lainnya yang kita dengar dari guru-guru kita dahulu.

        Pendidikan sejarah merupakan wahana yang efektif dalam rangka pembentukan karakter bangsa, maka sudah sepatutnya pendidik sejarah menjadi fasilitator pembelajaran yang objektif agar potensi-potensi kekritisan siwa dapat tergali, bukan justru menjadi pendidik sejarah yang menghakimi, apalagi  bertujuan kekuasaan.  Wallahu alam bisshawab.


Oleh    
Fadli Roby S.Pd 
Guru Mata Pelajaran Sejarah di Pesantren Persatuan Islam no 31 Banjaran Kabupaten Bandung.



Artikel Terkait Seru

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Linear - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger